Senin, 09 Januari 2012
GAJAH SUMATERA YANG TERANCAM PUNAH
Saya sangat menyesalkan kejadian ini ketika membaca berita di internet, seharusnya kejadian ini tidak perlu terjadi jika masyarakat sadar akan pentingnya hutan sebagai habitatnya si gajah, hutan yang di tebang dan dibuka akan mengakibatkan rusaknya tempat tinggal si gajah, gajah gajah pun akan keluar hutan karena tempatnya rusak ditambah berkurangnya jumlah makanan. Seekor gajah Sumatera dewasa akhirnya mati di Balai Raja, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis pada Sabtu malam (26 Maret 2011). Bantuan medis yang diberikan oleh Dokter Hewan BKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam) Riau, WWF dan lainnya tidak berhasil menyelamatkan nyawa induk gajah tersebut karena kondisinya yang sudah sangat lemah. Siang itu, gajah ini kembali kritis setelah dua hari sebelumnya terlihat cukup sehat. Sementara itu, anaknya yang kberumur sekitar 5 bulan dipindahkan ke Pusat Latihan Gajah di Minas.
Sebelumnya induk dan anak gajah ini dilaporkan telah dua minggu berkeliaran di sekitar Kompleks Perumahan Cendana, Kecamatan Mandau. Masyarakat sekitar yang telah cukup sering berhadapan dengan konflik manusia-gajah di daerah ini tetap berjaga-jaga terhadap situasi ini. Pada Rabu (23 Maret 2011), induk gajah tersebut tumbang dan akhirnya pingsan tergeletak beberapa jam di jalan aspal. Masyarakat berupaya memberikan makanan dan menyiramkan air hingga akhirnya induk gajah tersebut dapat kembali berdiri.
Keesokan harinya kondisi induk gajah tersebut terlihat membaik. Induk gajah dan anaknya pun telah dapat digiring secara manual ke kawasan yang berhutan di sekitar komplek Chevron oleh WWF dan BKSDA. Namun induk gajah terlihat selalu memuntahkan makanan yang dimakannya. Dari tanda-tanda fisiknya yang lemah dan selalu memuntahkan makanannya, induk gajah tersebut diduga memakan sesuatu yang beracun.
Masyarakat sekitar dan anak-anak sekolah cukup prihatin dengan kondisi induk gajah tersebut. Mereka pun bersama-sama mengumpulkan sumbangan untuk membeli makanan bagi induk gajah tersebut. Sementara anak gajah tersebut tetap berada disamping induknya dan sesekali menyusui pada induknya yang masih dalam kondisi lemah tersebut. Namun sayang, kepedulian dan usaha yang dilakukan ternyata belum dapat berhasil menyelamatkan hidup induk gajah tersebut.
Kondisi Habitat Gajah di Balai Raja
Balai Raja merupakan satu dari sembilan kantong gajah tersisa di Riau dengan populasi ketiga terbesar yakni sekitar 35 ekor. Daerah jelajah gajah pada kantong gajah ini meliputi Suaka Margsatwa Balai Raja dan daerah sekitarnya yang telah terbagi-bagi dalam beberapa pemegang konsesi. Suaka Margasatwa Balai Raja sendiri ditetapkan pada tahun 1986 dengan luas 18.000 ha namun kawasan konservasi tersebut kini hanya menyisakan sekitar 120 ha saja yang berhutan. Pemukiman, kebun sawit telah menggantikan kawasan konservasi tersebut sehingga menyebabkan konflik-manusia gajah di kawasan tersebut sangat sering terjadi.
Sementara itu kawasan sekitar Suaka Margasatwa Balai Raja, yang dikenal dengan Blok Hutan Libo adalah kawasan bernilai konservasi tinggi selain ia merupakan bagian dari daerah jelajah gajah, kawasan ini juga merupakan kawasan gambut dalam. Kawasan gambut itu menurut RTRWP tahun 1994 merupakan kawasan lindung. Penebangan hutan di kawasan Blok Libo setidaknya mulai termonitor pada tahun 2005 oleh Eyes on the Forest dimana dua perusahaan kertas di Riau dan atau mitranya yang tergabung dalam grup APRIL atau APP terbukti menerima kayu dari kawasan ini. Pada tahun 2010, setidaknya dua perusahaan yakni PT. Bina Daya Bintara ( Grup APRIL) dan PT. Bina Daya Bentala (Grup APP) melakukan penebangan di Libo Blok terlihat dari RKT yang mereka dapatkan pada tahun tersebut.
Kondisi Blok Libo yang telah terdegradasi dan terfragmentasi membuat konflik semakin tinggi di daerah tersebut. Ditambah lagi, di musim hujan, gajah tidak menyukai daerah rawa oleh karena itu mereka akan mencari tempat yang lebih kering. Sementara daerah daratannya telah menjadi pemukiman dan kebun sawit sehingga konflik pun tidak terelakkan. Bukan saja gajah yang menjadi korban, manusia pun menjadi korban seperti pada tahun 2009, seorang manusia meninggal akibat konflik di kawasan tersebut.
Sementara itu tragedi terbesar konflik manusia-gajah di sekitar kawasan ini terjadi pada tahun 2006 yang berujung pada penangkapan 10 ekor gajah. Satu diantaranya mati pada proses penangkapan dan satu lepas . Sementara itu delapan ekor gajah yang dipindahkan ke hutan Tesso Nilo mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya dan menyebabkan konflik baru di sekitar kawasan tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar