Keputusan Pemerintah Indonesia untuk mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM telah menimbulkan berbagai kontroversi dalam masyarakat. Di satu sisi, kenaikan harga minyak dunia memaksa Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan harga BBM dalam jangka pendek, agar tidak membebani APBN. Namun di sisi lain, masyarakat mengkhawatirkan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari mereka. Pengalaman pada kenaikan BBM tahun-tahun yang lalu menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM selalu diikuti dengan kenaikan harga barang-barang secara umum (inflasi) dan penurunan pendapatan riil masyarakat. Untuk itu, diperlukan kebijakan-kebijakan lain dari Pemerintah untuk mengatasi kerawanan kondisi perekonomian dunia saat ini.
LATAR BELAKANG KENAIKAN HARGA BBM
Pada tahun 2008 ini, Indonesia menghadapi ancaman krisis energi, krisis pangan, dan kenaikan harga BBM. Ancaman-ancaman tersebut muncul dari kenaikan harga minyak dan komoditi primer dunia serta adanya ancaman resesi global.
Sejak Januari sampai Oktober 2007, harga minyak tidak pernah mengalami penurunan dalam pergerakan bulanan. Bahkan, bila dibanding harga pada 2000 yang masih USD27/barel, harga minyak dunia pada 7 Juni 2008 sudah mencapai $ 138,54 per barel.
Kenaikan harga minyak dapat diterangkan karena beberapa faktor. Pertama adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Pada kuartal ketiga 2007, total suplai minyak dunia diperkirakan mencapai 85,57 juta barel per hari (bph), dengan kontribusi produksi minyak mentah negara anggota OPEC sebesar 30,48 juta bph atau sekitar 36%. Produksi minyak nonanggota negara OPEC, yang mencapai 54,23 juta bph, ternyata jauh melebihi produksi negara OPEC. OPEC hanya bertindak sebagai swing oil producer of the world, artinya hanya memproduksi untuk menutup kesenjangan antara permintaan minyak dunia dan produksi minyak non-OPEC. Dengan demikian, OPEC bisa mengendalikan harga di satu sisi,tapi menimbulkan idle capacity di sisi lain. Bila produksi minyak negara-negara maju (OECD) meningkat, biasanya OPEC menurunkan produksi minyaknya, dan sebaliknya. Dengan ”kelangkaan yang disengaja” ini, harga minyak sulit turun. Kedua, banyak yang menuding pemicu kenaikan minyak global adalah ketegangan di perbatasan Turki dan Irak karena kebijakan Turki yang akan menggunakan seluruh kekuatan militernya guna menghadapi separatis Kurdi di Irak. Selain itu, laju konsumsi di China dan India yang terus meroket dan melemahnya dolar AS ikut memicu kenaikan harga. (Kuncoro, 2007)
Dengan kenaikan harga minyak, seharusnya Indonesia juga ikut mendulang keuntungan seperti yang dialami oleh negara-negara penghasil minyak lain. Akan tetapi, APBN Indonesia justru terbebani semakin berat. Masalahnya, produksi minyak Indonesia hanya mencapai 838.000-895.000 bph selama 2006-2007. Padahal pada tahun 2001, produksi minyak mencapai 1,2 juta barel per hari. Kontribusi produk minyak Indonesia yang terus mengalami tren menurun ini tidak diimbangi dengan penurunan konsumsi BBM dalam negri. Konsumsi BBM dalam negri tetap saja meningkat dari tahun ke tahun. Konsumsi energi Indonesia secara agregat jauh diatas Jepang, Thailand, Jerman, dan negara-negara OECD. Akibatnya, sejak tahun 2000, Indonesia menjadi nett importer minyak. Indonesia mengekspor minyak mentah dan mengimpor BBM.
Selain itu, produksi minyak di Indonesia dikuasai oleh pihak asing. Selama tiga tahun terakhir, Chevron Pacific Indonesia merupakan produsen minyak terbesar di Indonesia, dan menguasai 44% dari total produksi minyak Indonesia. Sedangkan Pertamina hanya duduk di peringkat kedua dengan pangsa produksi hanya 12%.
Di sisi lain, harga barang-barang komoditas primer juga naik sejak waktu yang kira-kira sama dengan kenaikan harga minyak. Harga komoditas primer seperti tembaga, kedelai, gandum, kapas, kopi, cokelat, dan makanan ternak mengalami kenaikan dua kali lipat pada bulan Oktober 2007. Lebih lanjut, kenaikan harga minyak berkorelasi positif dengan kenaikan harga komoditas pangan. Kemudian, inflasi muncul sebagai akibat kenaikan harga minyak dan bahan pangan, ditambah ekspektasi akan inflasi.
Sementara itu, negara-negara tetangga Indonesia telah melakukan penyesuaian harga BBM dan harga BBM Indonesia (sebelum pengurangan subsidi) tergolong yang paling rendah, sehingga perbedaan harga minyak di dalam negeri dan harga minyak internasional melebar. Akibatnya, pertumbuhan konsumsi BBM makin tidak terkendali. Berdasarkan makalah yang disampaikan perwakilan Bank Indonesia Semarang, konsumsi BBM pada bulan April 2008 meningkat cukup tajam, terutama untuk jenis premium dan solar.
Dengan demikian, tanpa kebijakan, subsidi energi dalam APBN 2008 membengkak dan tidak dapat dibiayai, serta menambah beban di tahun 2009. Karena alokasi subsidi BBM maksimal yang diperkenankan dalam APBN-P 2008 adalah Rp 135,1 triliun (UU No.16 Tahun 2008 tentang APBN-P 2008 pasal 7), dan tanpa kebijakan, defisit APBN yang tidak terbiayai akan mencapai Rp 35,6 triliun pada 2008 dan pada 2009 akan mencapai Rp 69,5 triliun. (Bank Indonesia-Semarang Regional Office, 2008)
Kebijakan menaikkan harga BBM (mengurangi subsidi BBM) perlu dilakukan untuk mengatasi krisis energi dan kenaikan harga minyak dunia. Sedangkan dampak kenaikan harga BBM itu sendiri terutama akan dialami oleh rakyat dari golongan ekonomi menengah kebawah, baik dampak negatifnya seperti PHK dan penurunan pendapatan riil, maupun pemberian kompensasi kenaikan harga BBM berupa BLT dan bentuk-bentuk lainnya. Kenaikan harga BBM juga akan memicu terjadinya inflasi, yang mana berusaha diimbangi oleh BI dengan meningkatkan BI rate. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa kenaikan harga BBM ini merupakan kebijakan jangka pendek, yang harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan lainnya guna menghadapi tantangan krisis energi dan krisis pangan yang dihadapi Indonesia
sumber
http://www.bbc.co.uk/indonesian
www.mudrajad.com
nice post, that's very interesting information thanks for sharing :)
BalasHapusI introduce a Economics student in Islamic University of Indonesia Yogyakarta